Jumat, 30 Juni 2017

Mengapa Perkawinan Tidak Bahagia ?


Suatu kisah yg inspiratif :

Dua Orang Baik tapi Mengapa Perkawinan Tidak Bahagia?

Ibu saya adalah seorang yang sangat baik, sejak kecil saya melihatnya begitu gigih menjaga keutuhan keluarga. Ia selalu bangun dini hari, memasak bubur untuk ayah karena lambung ayah kurang baik.
Setelah itu, masih harus memasak nasi untuk anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan...
Setiap sore, ibu selalu menyikat panci supaya tidak ada noda sedikitpun.
Menjelang malam, dengan giat ibu membersihkan rumah agar tidak berdebu.

Ibu adalah seorang wanita yang sangat rajin. Namun, di mata ayah, ibu bukan pasangan yang baik. Tidak hanya sekali ayah menyatakan kesepian dalam perkawinan, tapi saya tidak memahaminya...
Ayah saya adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Ia tidak merokok, tidak minum-minuman keras, serius dalam pekerjaan, setiap hari berangkat kerja tepat waktu dan saat libur ayah punya waktu untuk mengantar kami ke sekolah. Ia seorang ayah yang penuh tanggung jawab, mendorong anak-anak untuk berprestasi dalam pelajaran.

Ayah adalah seorang laki-laki yang baik di mata anak-anak, ia besar seperti langit, menjaga kami, melindungi kami dan mendidik kami.
Hanya saja, di mata ibu, ia bukan pasangan yang baik. Kerap kali saya melihat ibu menangis terisak secara diam-diam.
Saya melihat dan mendengar ketidakberdayaan dalam perkawinan ayah dan ibu, sekaligus merasakan betapa baiknya mereka. Seharusnya mereka layak mendapat perkawinan yang baik.

Saya bertanya pada diri sendiri, "Dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia?"

Setelah dewasa, akhirnya saya memasuki perkawinan dan perlahan-lahan saya mengetahui jawaban itu...

Di masa awal perkawinan, saya juga sama seperti ibu, berusaha menjaga keutuhan keluarga, rajin bekerja dan mengatur rumah dengan sungguh2 berusaha memelihara perkawinan sendiri.
Anehnya, saya tidak merasa bahagia dan suamiku sepertinya juga tidak bahagia. Saya merenung, mungkin rumah kurang bersih, masakan tidak enak, lalu dengan giat saya membersihkan rumah dan memasak dengan sepenuh hati.

Namun, rasanya, kami berdua tetap tidak bahagia. Hingga suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan rumah, suami saya berkata, "temani aku sejenak mendengar alunan musik!"
Dengan mimik tidak senang saya berkata, "Apa tidak melihat masih ada separoh lantai lagi yang belum dipel?"

Begitu kata-kata ini terlontar, saya pun termenung, kata-kata yang sangat tidak asing di telinga, dalam perkawinan ayah dan Ibu. Saya sedang mempertunjukkan kembali perkawinan ayah dan ibu, sekaligus mengulang kembali ketidakbahagiaan dalam perkawinan mereka. Ada beberapa kesadaran muncul...

Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suamiku, dan teringat akan ayah yang tidak mendapat apa yang dia butuhkan dalam perkawinannya.
Waktu ibu habis untuk membersihkan rumah pada hal yg dibutuhkan ayah adalah menemaninya. Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga adalah cara ibu dalam mempertahankan perkawinan. Ia memberi ayah sebuah rumah yang bersih namun ibu jarang menemani ayah. Ia berusaha mencintai ayah dengan caranya.

KESADARAN MEMBUAT SAYA MEMBUAT KEPUTUSAN YANG SAMA
Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami, menemaninya mendengar musik, dan dari kejauhan, saat memandangi kain pel di atas lantai seperti menatapi nasib ibu.
Saya bertanya pada suamiku, "Apa yang kau butuhkan?"

"Aku membutuhkanmu untuk menemaniku... Rumah kotor sedikit tidak apa-apa.." ujar suamiku.
Saya kira dia perlu rumah yang bersih, ada yang memasak, dst.
"Yang paling kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku."
Ternyata sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan, hasilnya benar-benar membuat saya terkejut. Kami meneruskan menikmati kebutuhan masing-masing, dan baru saya sadari ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang sia-sia, kami memiliki cara masing-masing bagaimana mencintai, namun, bukannya cara yang diinginkan pasangan kita.

Sejak itu, saya menderetkan sebuah daftar kebutuhan suami, dan meletakkanya di atas meja. Begitu juga suamiku, dia menderetkan sebuah daftar kebutuhanku.
Puluhan kebutuhan yang panjang dan jelas. Misal: Waktu senggang menemani pihak kedua mendengar musik, saling memeluk setiap pagi, memberi sentuhan selamat jalan bila berangkat, dstnya.

Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang sulit. Misal: "dengarkan aku, jangan memberi komentar". Ini adalah kebutuhan suami.

Kalau saya memberinya usul, dia bilang dirinya merasa tampak seperti orang bodoh. Menurutku, ini benar-benar masalah gengsi laki-laki.
Saya juga meniru suami tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya, kalau tidak saya hanya mendengarkan dengan serius...

Bagi saya ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun jauh lebih bermakna dalam pernikahan kami...

Bertanya pada pasangan kita, "Apa yang kau inginkan?" ternyata dapat menghidupkan pernikahan.

Kini, saya tahu kenapa perkawinan ayah dan ibu tidak bisa bahagia, MEREKA TERLALU BERSIKERAS MENGGUNAKAN CARA SENDIRI DALAM MENCINTAI PASANGANNYA, BUKAN MENCINTAI PASANGANNYA DENGAN CARA YANG DIINGINKAN PASANGANNYA.

Kita mungkin sangat lelah melayani pasangan kita, namun dia tidak menghargai... Akhirnya kita kecewa dan hancur.

Allah, Sang Pencipta telah menciptakan perkawinan, maka menurut saya, SETIAP ORANG PANTAS DAN LAYAK MEMILIKI SEBUAH PERKAWINAN YANG BAHAGIA, asalkan cara yang kita pakai itu tepat, menjadi orang yang dibutuhkan oleh pasangan kita.

KJ 318

Berbahagia tiap rumah tangga,
di mana Kaulah Tamu yang tetap:
dan merasakan tiap sukacita
tanpa Tuhannya tiadalah lengkap;
di mana hati girang menyambutMu
dan memandangMu dengan berseri;
tiap anggota menanti sabdaMu
dan taat akan Firman yang Kaub’ri.

Berbahagia rumah yang sepakat
hidup sehati dalam kasihMu,
serta tekun mencari hingga dapat
damai kekal di dalam sinarMu;
di mana suka-duka ‘kan dibagi;
ikatan kasih semakin teguh;
di luar Tuhan tidak ada lagi
yang dapat memberi berkat penuh.

Salam hangat dari team Nafiri Kasih .. semoga bermanfaat ..

Kamis, 29 Juni 2017

Memikul Salib


MEMIKUL SALIB

Markus 8:34
Lalu Yesus memanggil orang banyak dan murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. 

Yesus menetapkan 2 syarat utk mengikut Dia, yaitu:

1. Menyangkal diri
Membuat Tuhan lebih utama dibanding hidup kita sendiri, hidup kita bukanlah milik kita lagi sehingga bukan kita yg menuntut Allah tapi Allah yg berhak menuntut segala sesuatu dari kita karena Dialah yg memiliki kita.
Mengalahkan kedagingan dg hidup dipimpin oleh Roh Kudus & taat melakukan firman.
Salah satu ciri murid yg 'menyangkal diri' adalah dia yang hidup selalu bersyukur.

2.Memikul salib,
yaitu sebuah proses perjalanan via dolorosa mengalahkan beban kehidupan sampai kepada kematian (disalib) terhadap beban tsb  (masalah tdk lg menguasai kita), sehingga kita akan beroleh persekutuan dg kuasa kebangkitanNya & beroleh kemenangan.

Kemenangan tidak selalu berarti beban masalah sudahselesai, bisa saja belum selesai tapi sudah tdk lagi menjadi beban.

Demikianlah menjadi pengikut Kristus ... bersyukurlah karena suatu kehormatan & kepercayaan dari Tuhan kalau kita boleh menyangkal diri & memikul salib. Amin.

Hidup berkemenangan bukan hidup tanpa masalah, tp hidup yg menguasai masalah
Tetap semangat, Tuhan memberkati.

POSTINGAN TERAKHIR

Hidup Harus Bersyukur

Hidup Harus Bersyukur 1 Tesalonika 5 : 18 "Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allaah di dalam Kristus Y...

POPULER DIBACA